Catatan Kecil

Sabtu, 27 September 2008

Selamat Idul Fitri 1429 H

Senin, 01 September 2008

Pelajaran Kecil dari Sang Profesor

Suatu saat di akhir Agustus 2008 saya diberi berkesempatan berkunjung ke Penang dalam rangka berobat ke salah satu rumah sakit di sana. Setelah selesai diagnosis, keesokan harinya saya berkunjung ke University Sains Malaysia (USM) menemani rekan yang sedang mengambil program Ph.D. Hitung-hitung juga sebagai studi banding untuk persiapan kuliah S3 di masa depan.

Kampus yang luar biasa bagus, sejuk, berbukit-bukit, dan tertata dengan desain yang benar-benar direncanakan dengan baik. Sekilas tampak seperti deretan vila-vila atau kumpulan hotel-hotel di daerah pegunungan. Mengenai luasnya? Wah, mungkin 10 kali luas kampus USU di Medan, atau mungkin 50 kali kampus UMSU?.

Awalnya kami masuk ke ruangan salah seorang dosen pembimbing disertasi rekan saya tersebut, seorang Doktor. Beliau menyambut dengan ramah dan penuh kekeluargaan, orangnya cukup bersahaja dan menunjukkan kesalehan di wajahnya. Tak ada sedikitpun menunjukkan keakuan dan rasa sombongnya. Di akhir pertemuan sang Doktor memberikan banyak foto copy jurnal-jurnal dan buku yang diberikannya secara gratis, padahal lembarannya cukup tebal.

Selesai bimbingan, rekan saya “D” masuk ke dalam ruang seminar yang berbatas dinding kaca. Di dalamnya penuh dengan mahasiswa yang sedang kuliah S2 dan S3, mereka bermaksud mendengarkan ceramah dari seorang Professor. Saya menunggu dan memperhatikan dari sebalik dinding kaca dengan penuh rasa ketertarikan melihat nuansa ilmiah tersebut. Akhirnya saya diminta sang professor masuk ke ruangan untuk bergabung dan memperkenalkan diri kepada seluruh audiens.

Awalnya saya salah tingkah namun memberanikan diri berdiri dan berbicara singkat tentang maksud kedatangan saya di tengah-tengah mereka. Kemudian professor memulai kuliah dengan antusias sambil sesekali bercanda untuk mengimbangi suasana formal. Waktu dilalui dengan presentasi proposal penelitian mahasiswa serta diselingi dengan berdiskusi dengan sesama mereka.

Usai kuliah kami menunaikan shalat Jum’at di mesjid kampus yang cukup luas. Begitu sholat selesai sang professor mengajak kami untuk makan siang bersama di sebuah restaurant dengan beberapa orang mahasiswa S2 dan S3 (sekitar 10 orang), termasuk saya. Sang professor mengatakan bahwa ia sengaja mentraktir kami karena baru saja ada mahasiswanya yang lulus Doktor.

Wah, saya agak bingung bercampur kagum. Bagaimana tidak, sering terdengar di Indonesia mahasiswalah yang selalu mengajak makan dosen-dosennya bila sudah selesai sidang meja hijau. Tapi kali ini berbeda, di negeri tetangga ini saya menemui dosen yang perilakunya 180 derajat berbeda dengan di tanah air.

Saat makan siang akan dimulai professor meminta salah seorang Doktor untuk membacakan do’a makan. Saya ikut berdo’a di dalam hati. Hal yang benar-benar menarik, suasana yang hampir dan memang belum pernah saya temui di kalangan muslim ketika berada di rumah makan di Medan, saya hanya pernah menyaksikan beberapa kali suasana ini dilakukan oleh orang-orang yang beragama kristen. Ada yang salah di kita? Think about it.

Ada hal yang menggelikan namun dalam hati saya aminkan. Saat selesai makan masih ada tersisa 2 potong kecil apel di piring buah. Professor melihat dan langsung menyuruh 2 siswanya untuk menghabiskan apel tersebut. Sang siswa terpaksa memakannya, namun kembali dihardik oleh sang professor “makan tak boleh berdiri, harus duduk”.

Belakangan saya dengar informasi bahwa apabila makan sang professor tak pernah menyisakan makanan di piringnya, tidak sebutir nasipun tertinggal. Bahkan ia menjilati jemarinya untuk memastikan bahwa tidak ada nasi yang tersisa sedikitpun.

Wah, cukup disiplin dan taat kepada ajaran agama juga benar menurut kesehatan. Kebiasaan yang telah banyak dilupakan oleh kita ketika makan, tak berdo’a, menyisakan makanan di piring, makan dan minum sambil berdiri. Saya jadi berpikir, bagaimana kita mampu melakukan ibadah-ibadah besar, jika hal-hal yang dianggap sepele namun ada aturannya dalam agama selalu kita langgar. Mungkinkah kita jadi muslim yang kaffah? Sang profesor tidak hanya terbiasa dengan nilai-nilai ilmiah atau keilmuan belaka, namun ia juga tetap menjaga nilai-nilai agama yang perlu kembali diajarkan kepada mahasiswanya yang mungkin saja sudah dilupakan.

Pelajaran sesaat dari professor yang cukup menyadarkan kealpaan yang sudah mendarah daging.
 
Copyright © 2014 Azuar Juliandi. Designed by OddThemes